Angkat dagumu Sebab masa depan bukan dibelakangmu Kepalkan tanganmu Sebab kau haram menyerah....

kenali Hatimu

Belajar mengenal hati manusia, bukan hal yang mudah, karena seringkali sebagian besar manusia sulit memahaminya dan akhirnya mengalami kesulitan pula dalam memanfaatkan potensinya, padahal banyak sekali ayat dan hadis bertebaran yang menjelaskan bahwa kualitas manusia dihadapan Allah adalah tergantung dari kualitas hatinya.


Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali bahkan menyebutnya sebagai hakikat manusia adalah terletak di dalam hatinya. Hati terletak di dalam jiwa, dan jiwa manusia bukanlah seperti jasad yang tersusun dari empat unsur bumi, dari air, api tanah dan udara.


Jiwa manusia atau dalam istilah Alquran disebut sebagai nafs, adalah hakikat manusia sebenarnya, jiwa manusia yang akan mengalami perjalanan panjang kehidupan dari alam perjanjian dahulu (lihat QS 7:172) memasuki alam rahim, lalu ke alam dunia dengan menggunakan pakaian jasad yang kita banggakan sekarang dengan ketampanannya atau kecantikannya.


Dari pejalanan dunia ini, jasad manusia hanya diberi kesempatan hidup oleh ruh Allah selama yang tertulis di alam Azali, apakah telah ditetapkan 40 tahun, 50 tahun atau 90 tahun atau bahkan hanya 4 bulan. Jasad manusia hanya menemani sang jiwa selama dia memang diperkenankan oleh Allah melewatinya, sedangkan pasca kematian jasad itu, sang jiwa masih harus menempuh perjalanan berikutnya di alam barzakh.


Sebuah alam yang berdiam di sana para jiwa dari manusia pertama yaitu Adam a.s. hingga zaman hari ini yang telah melewati kehidupan dunianya…



Di alam barzakh inilah sebenarnya masing-masing jiwa akan mendapatkan buah dari apa yang ”ditanamnya” di alam dunia bersama sang jasadnya. Kebaikan demi kebaikan yang Allah ridlai akan membuat jiwanya merasakan hasil panennya, maka di alam barzakh itu mereka akan diperjalankan dalam kedamaian, kemudian sebagaimana dalam Alquran sebutkan, mereka diperkenankan berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia yang masih hidup di dunia ini…. (lihat QS 6:122).



Karena itulah, betapa berharganya kehidupan di dunia ini jika seandainya setiap diri manusia sadar akan tujuan hidupnya. Sadar bahwa perjalanan dunia hanyalah sebuah perlintasan sesaat sebelum manusia itu melanjutkan perjalanan panjangnya di alam berikutnya. Dan keberhargaan dunia ini tentu diukur dari kualitas dirinya di dunia ini, dan kualitas diri diukur dari kualitas jiwanya, atau kualitas hatiunya, bukan kualitas keindahan fisik jasadnya.


Betapa hati manusia atau hati manusia itu memiliki posisi yang sangat mendasar. Dan betapa kesucian jiwanya berkaitan dengan kesucian hatinya dan kekotoran sang manusia dihadapan Allah tentu berkaitan dengan kekotoran dan kenistaan sang jiwa itu sendiri akibat dosa-dosanya…


Hati manusia sebagai lokus utama pandangan Allah. Hati manusia menjadi tempat bersemayamnya asma-asma Allah, tentu bukan sembarang hati tapi hati yang telah Allah sucikan, Allah dekatkan dan Allah murnikan semurni-murninya…


Sedikit saya kutip tulisan dari pengantar buku Al-Hakim al-Tirmidzi, “Biarkan Hatimu Bicara!”, terbitan serambi-Jakarta:


Alkisah, ketika itu Nasruddin Hoja diangkat menjadi seorang hakim. Suatu hari saat dia sedang mencatat perkara yang masuk, dua orang lelaki datang mengadu. Masing-masing mengaku sebagai pemilik sehelai jubah dan tidak ada yang mau mengalah.


Nasruddin menyuruh mereka memegang ujung jubah itu. Lalu dengan cuek, dia kembali bekerja. Asyik sekali dia bekerja seolah tak hirau dengan dua orang lelaku yang berdiri di depan mejanya sambil memegang ujung jubah.


Sekian menit kemudian, Nasruddin dengan keras membentak, ”Hai maling! Serahkan jubah itu pada yang punya!”


Secara spontan, salah seorang dari mereka melepaskan ujung jubah yang dia pegang. Dengan demikian, tahulah Nasruddin milik siapa jubah itu.


Begitulah. Orang bersalah memang sulit membohongi dirinya sendiri. Seribu orang bisa dikelabui dengan mimik wajah atau kepiawaian berakting. Tapi, hati kecilnya sendiri tidak mungkin dikelabui. Hatilah, menurut ulama sufi, pusat motivasi dan pengetahuan kita.. Hati bahkan bisa mengetahui apa yang diingkari oleh pikiran rasional.


Karena itulah Nabi Saw. Berpesan, ”Istafti qalbak,” mintalah fatwa pada hatimu…”kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.” (HR Ahmad dan Al-Daarimi). Di sini hati menjadi tempat bertanya bagi kita kala harus memutuskan sesuatu yang penting. Ia sumber cahaya batiniyah, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih.



Dalam hadis lain, hati pulalah penentu kualitas seseorang: ”Hati bagaikan raja, dan hati memiliki bala tentara.Bila raja itu baik,maka baiklah seluruh bala tentaranya. Dan, kalau hati itu rusak, maka rusaklah seluruh bala tentaranya” (Kanzul Ummal, hadis ke 1205)


Namun pertanyaan kita bersama adalah, apakah semua hati manusia bisa kita tanya untuk mendapatkan jawaban yang bijak, yang benar menurut Allah, dan yang menuntun kita pada keridlaan-Nya? Mengapa jika hati manusia bisa ditanya dan menuntun kebenaran, tapi faktanya banyak manusia masih lengah dan terjebak pada tindakan-tindakan kemaksiatan, kejahatan dan keburukan2 lainnya?


Mengapa pula tidak banyak manusia yang sadar bahwa dalam dirinya ada sebuah potensi Ilahiyah yang akan membimbingnya pada jalan kesucian? Apa yang membuat pemahaman manusia tentang keajaiban hati ini menjadi terhijab? Apa yang terjadi apabila semua umat Rasulullah bisa menggunakan hati nuraninya, hati terdalamnya yang telah Allah berikan cahaya-Nya?


Mudah-mudahan semua pertanyaan ini memicu kita dalam sebuah perenungan panjang, semoga kita dapat memanfaatkan potensi besar yang menakjubkan ketika kita pada hakikatnya telah Allah karuniakan sebuah hati nurani, dan kemudian terbebas dari dosa dan terlepas hijab-hijabnya…


Semoga tulisan kecil ini dapat menjadi pengantar renungan berikutnya untuk dapat memahami hakikat hati atau hati manusia yang sangat cerdas ini….

Jalinan Ukhuwah

Nada Keinsyafan

Template by:
Free Blog Templates