Angkat dagumu Sebab masa depan bukan dibelakangmu Kepalkan tanganmu Sebab kau haram menyerah....

Kisah Somad dan Istidraj


oleh: Khairul A

Sang fajar menyingsing di langit timur diantara rintikan air yang jatuh di pagi buta. Menambah dingin pagi itu, di iringi pangilan azan menggema memecah pagi.


Langkah kecil pak somad seorang pencari barang bekas keliling memecah sepi.Ia memulai paginya diantara basuhan dingin air wudhu dan bergegas menuju panggilan Ilahi. Sujud dan terhanyut somad dalam kekhusyuaan pagi itu.selepas semua berlalu somad tetap terduduk dan termenung seraya berzikir dia memohon dan berkeluh tentang semuanya.


Dia tak hiraukan diluar hujan turun begitu deras. Matahari seakan enggan muncul di ufuk timur. Hatinya kini gundah ia memikirkan isterinya yang sedang tergeletak sakit di rumah kontrakannya yang kecil di sudut gang, Si Tini anaknya yang selalu minta bayaran untuk membeli buku-buku sekolahnya, si bungsu Tina yang mau masuk ke kelas satu SD dan yang jelas semuanya butuh biaya. Dalam hati Somad yang kalut dia terus merenung.


Akhirnya hujanpun reda . tepukan tangan menyentuh bahunya, perlahan Somad terhenyak dan berpaling “ohhh Ustad taufik” kata si somad sambil terlaget.


“ Pak Somad nggak siap-siap kerja Hari udah mulai siang lho…” kata Ustad Taufik di iringi senyum lirih menghias wajahnya yang penuh bijaksana. “ya Ustad saya sedang pusing tad banyak beban yang harus saya tanggung” lalu diapun menceritakan keadaan keluarganya di akhir ceritanya dia berkata



” Kenapa ya tad orang susah seperti saya harus di coba dengan penderitaan, bukanya banyak orang-orang kaya yang korup dan maksiat tetapi mereka tidak di azab atau di berikan ujian yang berat?”


Ustad taufik tersenyum ia tahu apa yang sedang dirasakan pak Somad. Perlahan Ustad taufik menjawab



” Pak somad harus banyak bersyukur Allah masih berikan kita nikmat kesehatan, nikmat iman dan nikmat-nikmat yang lain yang tak bisa kita hitung…makanya kita jangan lantas mengeluh, dengan ujian tadi berarti Allah masih sayang kepada kita, Allah cinta kepada kita, walau kita tak punya harta berlimpah tapi kita masih di beri kesehatan dan kemampuan untuk beribadah, Sholat subuh seperti yang bapak lakukan tadi,

Coba bisa bayangkan jika sekarang Allah berikan harta berlimpah kepada kita, lalu kita disibukkan dengannya akhirnya kita lupa dengan Allah dengan ibadah kita, sholat kita dan lain- lhaa lain.itulah yang dinamakan Istidraj yaitu Allah berikan kelebihan-kelebihan namun sebagai cobaan baginya.karena hartanya digunakan untuk hal-hal yang sia-sia.”


Pak Somad semakin serius mendengarkan ceramah ustad Taufik “o0o0o begitu ya Ustad” Somad menengahi pembicaraan. Ustad Taufik melanjutkan ceritanya.


” Tetapi alangkah baiknya jika kita ini punya harta dan kelebihan-kelebihan namun kita juga terus beribadah dan ingat selalu kepada Allah, karena Ujian berupa Harta kesenangan itu lebih berat dari pada ujian kesengsaraan dan kesusahan. Ibnu Taimiyah pernah


berkata:”Aku lebih siap di uji dengan kesengsaraan dan penderitaan dari pada kekayaan dan keistimewaan “.


”Jadi pak Somad harus terus berusaha jangan menyerah karena menafkahi keluarga juga ibadah dan jangan lupa bersyukur dan terus ingat pada Allah karena tugas kita hanya berusaha dan bersyukur yang memberikan segalanya adalah Allah, dan barang siapa pandai bersyukur Allah tambah nikmatnya….”Ustad Taufik mengakhiri pembicaraan . mereka berdua bangkit dari duduknya .


Somad tenang hatinya dalam hatinya berbisik Maha suci Allah Yang telah melimpahkan semua nya untukku sungguh Kau Maha Adil Ya Allah.di sela-sela lamunanya Ustad Taufik mengajaknya berjalan menuju rumahnya dan memberikan sedikit rezeki untuknya


“Oiya Pak Somad ni ada sedikit rezeki ya nggak sebrapa” sambil meraih amplop Somad tersenyum….dia pulang ke rumah dengan membawa sejuta pelajaran.


(ceritaku di kala senja)

Pilih dan bertawakal Pada Allah


Hidup ini sesungguhnya adalah pilihan. Kita akan menemui banyak pilihan, kita akan dihadapkan pada pengambilan keputusan-keputusan untuk menentukan pilihan. Tentunya hampir setiap orang mengharapkan pilihan yang dipilihnya adalah pilihan yang terbaik.


Untuk menentukan pilihan yang terbaik itu, selain diperlukan pertimbangan dari diri sendiri dan orang lain, yang terpenting adalah minta petunjuk kepada Allah agar ditunjukkan pilihan yang terbaik, salah satunya dengan sholat istikharah.


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS.Al Baqarah:216)


Semakin dewasa diri kita semakin banyak kita menemui banyak pilihan karena salah satu tolak ukut kedewasaan adalah mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, mampu mengambil keputusan dan berani bertanggung jawab.


Seorang anak yang akan lulus SMU dia akan dihadapkan pada pilihan kemana setelah lulus nanti dan jika dia ingin melanjutkan kuliah, PTS/PTN mana yang akan dia pilih. Selanjutnya seseorang yang mau lulus (ataupun belum lulus) kuliah dia akan berpikir pekerjaan apa yang cocok untuknya. Ada beberapa pertimbangan dalam memilih.



Selanjutnya seorang ikhwan yang ingin menikah akan dihadapkan pada pilihan, siapa yang akan menjadi calon istrinya nanti. Bagi seorang akhwat akan dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak pinangan laki-laki yang datang meminangnya. Meskipun tetap boleh saja wanita yang ”meminang” laki-laki, tentu saja dengan cara yang syar’i. Dalam hal memilih calon istri/suami ini Rasulullah mengajarkan pada kita:

“Wanita dinikahi karena empat hal; karena harta, keturunan, kecantikan dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang punya agama, jangan berpaling kepada yang lainnya semoga dapat berkah” (HR Bukhari dan Muslim).


Sehingga yang menjadi pertimbangan utama adalah dalam hal dien/agamanya. Hal itu bukan berarti tidak boleh mempertimbangan ketiga hal yang lain; kecantikan/ketampanan, harta/kedudukan dan keturunan, karena hal itu manusiawi. Tetapi sebaiknya agama tetap menjadi pertimbangan yang utama karena sebaik-baik calon suami/istri adalah yang baik agamanya.


Ada curhat seorang akhwat dalam sebuah rubrik konsultasi yang menanyakan apakah sholeh saja cukup sebagai syarat calon suami? Apakah tidak boleh dia menolak seorang ikhwan yang sholeh tetapi dari segi fisik akhwat itu kurang sreg karena kurang cakep dan kurang cocok pula dengan sifatnya?



Pada rubrik itu konsultannya menjelaskan bahwa perasaan seperti sebenarnya manusiawi dan wajar. Tetapi sebelum memutuskan, sebaiknya dilakukan dulu proses untuk mengenal dari sisi lainnya. Mungkin memang tampangnya kurang menarik. Akan tetapi, tentu pertimbangannya kan bukan hanya tampang saja. Siapa tahu dia juga punya sisi yang lebih, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dipikirkan dahulu baik-baik dan bias dikonsultasikan kepada ayah dan ibu.

Senada dengan jawaban di atas, memang tidak salah dan sah-sah saja jika akhwat itu menolak si ikhwan karena alasan fisik. Tetapi alangkah baiknya jika akhwat itu bisa berpikir objektif kemudian mempertimbangkan tentang kesholehan si ikhwan. Tidak ada orang yang sempurna, mungkin akan sangat jarang didapatkan ikhwan yang perfect udah sholeh, cakep, tajir, de el el atau akhwat yang sholehah, cantik dan anak orang kaya, dll.


Kita perlu meluruskan niat, untuk apa dan karena siapa menikah. Apakah karena ibadah dan ikhlas karena Allah ataukah karena untuk nafsunya semata. Dan selanjutnya akhwat itu bisa minta pertimbangan kepada orang-orang sholeh di sekitarnya atau keluarganya. Dan yang tidak kalah penting, sholat istikharah minta pentujuk kepada Allah supaya ditunjukkan pilihan yang terbaik.


Tetapi kalau setelah dipertimbangkan masak-masak dan istikharah tetap meras tidak ”sreg” juga tidak bisa dipaksakan, karena bisa jadi itu yang terbaik dan akhwat itu bisa menolak dengan cara yang baik tanpa menyinggung perasaan si ikhwan.



Kita sering pula mendengar kisah para ikhwan yang pilih-pilih calon istri yang cantik. Ini juga sah-sah aja tetapi jangan sampai kecantikan menjadi pertimbangan yang utama, tetaplah agama yang menjadi prioritas utama. Salut juga mendengar ada ikhwan yang memilih calon istri akhwat yang lebih tua darinya karena merasa akhwat itu perlu didahulukan dan dia menikah karena ibadah bukan karena nafsunya.


Ada lagi kisah teladan dari Ummu Sulaim, sohabiyah yang termahal maharnya. Beliau mau menerima pinangan Abu Thalhah yang dengan syarat keislaman Abu Thalhah sebagai maharnya. Insya Allah Ummu Sulaim tidak begitu saja menerima begitu saja kalau tidak yakin dengan kesungguhan dan komitmen Abu Thalhah untuk berislam. Dan ternyata setelah masuk Islam, Abu Thalhah menjadi salah satu sahabat Rasulullah yang istimewa.


Memang tidak mudah untuk menjadi Ummu Sulaim karena suami yang akan menjadi kepala rumah tangga nantinya, yang akan lebih dominan. Ada beberapa kisah akhwat yang sebelum menikah dia sudah tertarbiyah dan aktif dalam dakwah kemudian menikah dengan seorang ikhwan Akhsan.


Besar harapan nantinya sang suami biasa diajak ikut tarbiyah dan dakwah, tetapi ternyata kenyataanya takseindah impiannya, sang suami ga mau ngaji apalagi dakwah dan sang istri pun akhirnya juga tak lagi berada dalam barisan dakwah. Tetapi jika memang calon suami punya komitmen dan sungguh-sungguh untuk perbaikan diri dan mau bergabung dalam barisan dakwah sebagaimana Abu Thalhah maka tidak ada salahnya juga menjadi seorang Ummu Sulaim.


Dengan pertimbangan-pertimbangan itu memang kita bisa menentukan pilihan. Tapi alangkah baiknya jika kita bertawakal kepada Allah, biarlah Allah yang memilihkan untuk kita, karena Dia-lah yang Maha Tahu yang terbaik untuk diri kita. Bisa jadi yang kita anggap baik adalah buruk menurut-Nya, begitu pula sebaliknya.

Wallahu a’lam bishowab

(Sumber: embuntarbiyah)

Tarbiyah

Tarbiyah saat ini telah menjadi sebuah fenomena tersendiri di bumi khatulistiwa ini. Terbukti dengan maraknya kajian keislaman yang diadakan hamper di seluruh tempat terutama di lingkungan yang isinya orang-orang yang ‘makan bangku’ pendidikan.

Di tengah kehidupan yang serba hedonisme dan cenderung bergaya ‘westlife’ ini kehadiran Tarbiyah bagaikan setetes embun di tengah kering dan gersangnya hidup.

Apalagi invasi pemikiran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam lewat berbagai cara telah berhasil dan sangat mewarnai kehidupan bangsa kita yang mayoritas adalah muslim.

Karenanya sebagai khairu ummah kita harus melawannya dengan cara yang sama. Seluruh potensi yang kita miliki harus dioptimalkan. Dan pondasi awal untuk bisa mengoptimalkan potensi Al-Insaan yang ada dalam diri kita adalah Tarbiyah.

Pentingnya Tarbiyah


Tarbiyah sangat penting sebagai imunitas dalam menghadapi serangan musuh, selain sebagai sarana penguat aqidah. Karena Tarbiyah adalah sebuah sarana untuk membentuk pribadi dambaan ummat hingga mampu membentuk komunitas Islami menuju terwujudnya kembali sebuah peradaban ideal.


Tarbiyah yang merupakan sebuah kemestian, keharusan bagi pada da’I Islam memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikannya ‘begitu indah’.


Rabbaniyah, sebagaimana karakter Islam itu sendiri, Tarbiyah pun bersumber dan bertujuan hanya kepada Allah. Lalu tadaruj atau bertahap. Dakwah adalah sebuah proses dan tahapan, sehingga Tarbiyah pun dilakukan dan berjalan secara bertahap, step by step, sehingga tidak memberatkan dan memaksakan meski juga tidak ringan. Selain itu dalam Tarbiyah juga berlaku tawazun alias seimbang .


Artinya menempatkan segala sesuatu pada haknya. Dan juga syaamil atau universal, menyentuh seluruh lini dan sisi kehidupan. Karena Tarbiyah sebagai pondasi dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamiin –‘memanusiakan’ manusia.

Terakhir dalam tarbiyah tidak mengenal kata cukup atau berhenti, ia berkesinambungan (istimror) sepanjang hidup. Atau yang disebut life education alias Tarbiyah madal hayah


Proses Tarbiyah

Tarbiyah dalam prosesnya dapat dilakukan minimal dengan tiga pendekatan; idealis, taktis, dan operacional.

Pendekatan idealis adalah jalan bagi pada da’i Islam, tidak ada jalan lain karena jalannya adalah jalan tarbawi yang memiliki

tiga karakter mendasar.


Pertama, sulit tapi hasilnya berkualitas.Proses tarbiyah ibarat menanam pohon jati, senantiasa harus dijaga dan diperlihara sehingga akarnya tetap kuat dan tidak goyah diterpa badai dan angin kencangn. Karenanya jalan Tarbawi merupakan proses pembentukan pribadi dambaan.


Kedua, proses yang panjang tapi terjaga kemurniannya. Dakwah adalah jalan panjang yang tidak hanya dilalui oleh satu generasi. Akan tetapi, meski terkadang untuk mencapai target dan sasaran tertentu harus melalui sekian banyak generasi, Asholah-nya tetap terjaga dan hammasah tetap terpelihara. Tarbiyah membentuk pribadi telah yang teruji dengan panjangnya mata rantai perjalanan dakwah serta pribadi yang tak kekang karena panas dan tak lapuk karena hujan.


Ketiga, lambat tapi hasilnya terjamin. Dakwah ibarat kompetisi dan bukan perlombaan, untuk itu diperlukan kesabaran dan keuletan dengan ’staying power untuk mencapai target dan sasaran dengan kualitas terjamin. Kompetisi memang terlihat lama dan lambat, akan tetapi potensi dan tenaga terdistribusi secara kolektif dan perpaduan kerjasama terarah secara baik untuk memberikan sebuah jaminan kesuksesan di akhir kompetisi.


Watak perjalanan dakwah yang lamabat harus dilihat dari proses dan tahapannya, bukan dari perangai para pelakunya (okum da’i), karena perangai yang lambar adalah sebuah kelalaian. Dan salah satu jaminan dari proses tarbiyah adalah lahirnya kepribadian yang integral, tidak mendua, dan tidak terbelah, yang akan tampak sejauh mana keterjaminannya bila dihadapkan oleh situasi dan kondisi yang menguji integritas kepribadiannya.


Setelah ketiga faktor idealis di atas terelisasi dengan baik, maka langkah berikutnya adalah memetaka langkah-langkah taktis, untuk menyeimbangkan luasnya medan dakwah dengan jumlah kader serta menyelaraskan dukungan massa dengan potensi Tarbiyah.

Terakhir adalah langkah strategis, dan dalam hal ini yang paling penting dalam sebuah perjalanan dakwah adalah fokus untuk menyusun barisan kader serta untuk menghindari terjadinya ”lost generation”, perlu dirumuskan strategi untuk membina kader-kader baru.


Penutup

Saat terjadi gelombang pemurtadan yang luar biasa di masa Abu Bakar RA., di sepertiga jazirah Arab yang selamat kader dakwah di wilayah itu dijaga dan dipelihara. Lalu pembinaan terhadap kader-kader batu yangkebanyakan adalah tawanan perang Riddah terus dijalankan hingga masa Umar bin Khattab RA.


Pada saat perang Qadisiyah, kader-kader baru yang dibina mayoritas berada di garis terdepan bahkan tak jarang di antaranya kemudian terkenal sebagai panglima dan komandan pasukan Islam. Dan itulah hasil Tarbiyah (QS. Ali Imran:146)

Ar - Ruhul Istijabah

Oleh : Ust Abd Muiz, MA

Mukadimah

Bersemangat dalam menyambut panggilan da’wah menunjukkan adanya keseriusan (jiddiyah) karena keseriusan adalah salah satu ciri kader militan. Keimanan seseorang belum sempurna kecuali apabila mendengar panggilan Allah dan Rasul-Nya segera menyambut panggilan tersebut dengan senang hati dan penuh semangat, Al-Qur’an mengingatkan kita tentang hal itu

“Hai orang¬-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasai antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan “. (AI-Anfal :24 ).

Kader da’wah apabila mendengar panggilan da’wah ia sambut dengan kata-kata “sam’an wa tha’atan” (kami dengar dan kami taati) “labaik wa sa’daik” (kami siap melaksanakan perintah dengan senang nati). Para sahabat Rasul di saat menjelang perang Badar, ketika Rasul ingin mengetahui kesiapan mereka untuk perang menghadapi musyrikin Quraisy, mengingat tujuan awal mereka bukan untuk perang tetapi untuk menghadang kafilah dagang yang dipimpin oleh Abu Sufyan, namun kafilah itu berhasil meloloskan diri dari hadangan kaum muslimin, maka Rasul bermusyawarah dengan mereka tentang apa harus dilakukan. Dari kalangan Muhajirin Abu Bakar dan Umar bin Khattab menyambut baik untuk terus maju ke medan pertempuran.


sedangkan Miqdad bin `Amru mengatakan : “Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu. Demi Allah kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Nabi Musa,yaitu “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami tetap duduk di sini”. Tetapi yang kami katakan kepadamu adalah : “Pergilah kamu ber-sama Rabbmu dan berperanglah, kami ikut berperang bersamamu”.

Demi Allah yarg mengutusmu membawa kebenaran, seandainya kamu mengajak kami ke Barkul Ghimad (suatu tempat di Yaman, red ) pasti kami tetap mengikutimu sampai di sana. Setelah sahabat Muhajirin, sahabat Anshar yang diwakili oleh Sa’ad bin Mu’adz menyampaikan sikapnya :

”Kami telah beriman kepadamu dan kami bersaksi bahwa apa yang kamu bawa adalah benar, atas dasar itu kami telah menyatakan janji untuk senantiasa taat dan setia kepadamu. Wahai Rasulullah lakukanlah apa yang kau kehendaki, kami tetap bersamamu.Tidak ada seorangpun diantara kami yang mundur dan kami tidak akan bersedih jika kamu menghadapkan kami dengan musuh esok hari. Kami akan tabah menghadapi peperangan dan tidak akan melarikan diri.

Semoga Allah akan memperlihatkan kepada kamu apa yang sangat kamu inginkan dari kami. Marilah kita berangkat Ilahi. Dalam riwayat lain, bahwa Saad bin Muadz berkata kepada Rasulullah, “Barang kali kamu khawatir jika kaum Anshar memandang bahwa mereka wajib menolongmu hanya di negeri mereka. Saya sebagai wakil kaum Anshar menyatakan, jalankan apa yang kau kehendaki, jalinlah persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki dan putuskanlah tali persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki.

Ambillah harta benda kami sebanyak yang kau perlukan dan tinggalkanlah untuk kami seberapa saja yang kamu sukai, apa saja yang kau ambil dari kami itu tebih kami sukai daripada yang anda tinggalkan. Apapun yang kamu perintahkan maka kami akan mengikutinya, demi Allah jika kamu berangkat sampai ke Barkul Ghimad kami akan berangkat bersamamu, demi Allah seandainya kamu menghadapkan kami pada lautan kemudian kamu terjun ke dalamnya maka kamipun akan terjun ke dalamnya bersamamu. (Rakhikul Makhtum 285-286 ).

Hasan AI-Banna berkata da’wah pada tahap pembinaan (takwin) shufi disisi ruhiyah dan askari (kedisiplinan) dari sisi amaliyah (operasional), slogannya adalah amrun wa thoatun (perintah dan laksanakan ) tanpa ada rasa bimbang, ragu, komentar, dan rasa berat’. (Risalah Pergerakan 2).

Empat Aspek Ruhul Istijabah

1. Istijabah Fikriyah (Menyambut dengan pikiran /dengan sadar).


Kader da’wah ketika mendapat tugas dari Murobbi, Pembina, maupun Qiyadah tidak hanya sekadar melaksanakan perintah dan tugas, tetapi ia sadar betul apa yang dikerjakannya adalah dalam rangka taat kepada Allah dan meraih ridho-Nya, bila dilakukan mendapat pahala dan bila tidak dilakukan dosa.

Karena itu para kader da’wah harus memahami, bahwa melaksanakan perintah dan tugas yang datang dari Murobbi, Pembina atau Qiyadah dalam rangka taat kepada Allah. karena Allah telah mewajibkan taat kepada pemimpin :

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta (taatilah) pemimpin kamu… ” (An-Nisaa:59). Demi laksananya tugas secara maksimal maka seorang kader selalu memikirkan tentang bagaimana cara melaksanakan tugas dengan baik, maka ia harus memperhatikan waktu, cara dan sarana yang tepat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan sesuai perintah, rencana, tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan.


Bahkan harus memiliki kemampuan memberikan saran, pendapatdan dan pandangannya demi terselenggaranya program dengan baik, seperti yang dilakukan oleh sahabat Habab bin AI Mundzir ketika mengusulkan tempat yang strategis untuk posisi pasukan kaum muslimin pada perang Badar. Habab berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah sehingga tidak dapat diubah lagi, ataukah strategi perang?

tempat ini kupilih berdasarkan strategi perang”. Kemudian Habab berujar kembali “wahai Rasulullah tempat ini tidaklah strategis. Ajaklah pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya, kemudian kita buat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum”. Rasulullah menjawab, “Pendapatmu sungguh baik “

Begitu pula, pada saat pasukan koalisi, yang terdiri dari kaum Musyrikin, bangsa Yahudi dan orang-orang Munafik menyerang Madinah, Sahabat Salman Al-Farisi menyampaikan usulannya kepada Rasulullah yaitu menggali parit di sekeliling Mmadinah, kemudian Rasulullah menerima usulan tersebut dan menjadi strategi perang yang ditetapkannya sehingga perang itu diberi nama dengan perang Khandak (parit).

Pada perang Qodisiah, perang antara tentara pasukan Persia, yang terjadi di Irak pada masa pemer-intahan Umar bin Khattab, Qoqo bin Amr terus berpikir untuk menaklukkan pasukan bergajah yang menjadi andalan pasukan Persia.

Sampai akhirnya Qoqo mendapatkan sebuah ide, untuk membuat patung gajah, agar kuda-kuda milik kaum Muslimin terbiasa melihat gajah sehingga ketika kuda-kuda itu berhadapan dengan gajah-gajah yang sebenarnya, tidak takut menghadapinya. Ternyata ide Qoqo ini menghasilkan buah.

Pada perang Qodisiah tentara kaum Muslimin berhasil menaklukan tentara Persia yang mengandalkan pasukan bergajahnya. Khalifah Umar bin khattab pernah berucap, “Tidak akan terkalahkan kaum muslimin selama di sana ada Qoqo bin Amr”. Dalam surat Ar-Ra’d ayat 19 Allah mengingatkan kita akan keistimewaan orang¬-orang mengoptimalkan akal pikirannya:

“Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb¬mu itu benar, sama dengan orang yang buta (tidak menggunakan akal pikirannya). Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran “.


2. Istijabah Nafsiyah (Menyambut dengan perasaan/emosi).


Para aktivis dan kader da’wah bila mendapat perintah dan tugas, baik tarbawi, da’awi maupun tanzhimi harus menyamtbutnya dengan perasaan senang, gembira, bahagia dan bersemangat untuk melaksanakannya. Janganlah perintah dan tugas itu disambut dengan rasa berat, malas, enggan dan tidak bergairah. Apapun kondisi yang terjadi pada diri kita, baik dalam keadaan susah, berat maupun kekuatan ma’nawiyah tidak mendukung, apalagi dalam keadaan bergembira.


Bila datang panggilan da’wah kita tidak boleh menolaknya atau merasa enggan dan malas memenuhnya. Allah berfirman:

”Berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringgan ataupun ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah :41).


Kemudian pada ayat yang lain Allah menjelaskan,”Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu “Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah “

; kamu merasa berat dan ingin di tempatmu Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal keni’matan hidup di dunia itu dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu “. (At¬Taubah:38-39).


Para
kader yang dibina oleh Rasulullah ketika mendengar panggilan jihad mereka berlomba-lomba untuk memenuhinya dengan harapan mendapat kesempatan mati syahid di jalan Allah. Kelemahan fisik tidak menjadi alasan untuk tidak berangkat memenuhi panggilan jihad, bahkan bila mereka tidak dapat memenuhi panggilan jihad karena udzur, mereka menangis.

“Dan tidak berdosa atas orang-orang yang apabila datang kepadamu sepaya kamu memberi mereka kendaraan. Lalu kamu berkata :”Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu “. Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan “. (At-Taubah: 92).

Mereka begitu semangat dalam melaksanakan perintah da’wah, perintah tersebut dikerjakan dengan suka cita, riang, gembira serta bahagia, bila mereka dapat melakukannya dengan baik. Sebaliknya, mereka bersedih dan berduka cita bila tidak dapat menjalankan perintah walaupun disebabkan udzur.

3. Istijabah Maaliyah (Menyambut dengan harta).


Da’wah untuk menegakkan dinul Islam muka bumi adalah kerja besar bahkan tidak ada pekerjaan yang Iebih besar darinya. Kerja besar ini membutuhkan dana yang besar pula sebagaimana lazimnya proyek besar. Dalam proyek da’wah pendanaan ditanggung oleh para da’i sendir-i.

Berkorban dengan harta dan jiwa sudah menjadi satu paket yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya. Seperti apa yang Allah rmpaikan dalam Qur’an,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka… ” (At-Taubah : 111).

Kemudian ayat lain Allah menjelaskan, “Hai orang¬-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan imu dari azab yang pedih ?Yaitu, kamu beriman pada Allah dan RasuINya dan berjihad di jalan Alllah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. ”

(As-Shaff : 10- 11).


Kader da’wah tidak pelit dengan hartanya untuk pembiayaan berbagai kegiatan da’wah dalam da’wah para kader dan aktivis siap mengorbankan hartanya, jangan mengharapkan keuntungan materi serta harta benda dari da’wah. Khadijah isteri Rasulullah telah memberikan seluruh kekayaannya untuk kepentingan da’wah. Pada perang tabuk kaum uslimin berlomba-lomba menginfakkan hartanya dan bersodaqah.

Usman bin Affan sebelumnya telah menyiapkan kafilah dagang yang akan berangkat ke Syam berupa dua ratus onta lengkap dengan pelana serta barang-barang yang berada di atasnya, beserta dua ratus uqiyyah. Setelah mendengar pengumuman Rasulullah, Usman datang pada Rasul kemudian men-shadaqah-kan semua itu. Kemudian Usman menambah lagi seratus onta dengan pelana dan perlengkapannya. Kemudian beliau datang lagi membawa seribu dinar diletakkan di pangkuan Rasulullah. Rasulullah memperhatikan apa yang dishadaqahkan oleh Usman itu seraya berkata:

“Apa yang diperbuat oleh Usman setelah ini, tidak akan membahayakannya”. Usman terus bershadaqah hingga jumlahnya mencapai sembilan ratus ekor onta dan seratus ekor kuda, belum termasuk uang. Setelah Usman selesai memberikan shadaqah, giliran Abdur Rahman bin Auf datang membawa Dua ratus uqiyyah perak, tak lama setelah Abdur Rahman, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya yang jumlahnya Empat ribu dirham, sampai-sampai beliau tidak menyisakan hartanya untuk keluar-ganya kecuali Allah dan Rasulnya.

Kemudian shahabat-shahabat yang lain berdatangan. Umar menyerahkan setengah hartanya. AI-Abbas datang menyerahkan hartanya yang cukup banyak. Thalhah, Sa’ad bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah semuanya datang menyerahkan shadaqahnya. Tidak ketinggalan Ashim bin Adi datang menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma. Kemudian diikuti sahabat yang lain mulai dari yang scdika sedikit sampai yang banyak.

Sampai ada di antara mereka yang berinfaq dengan segenggam atau dua genggam kurma, karena hanya itu yang mereka mampu lakukan. Kaum wanitapun menyerahkan berrbagai perhiasan yang yang mereka miliki, seperti gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Tidak ada seorangpun yang kikir menahan hartanya kecuali orang-orang Munafq. Allah berfirman :

“Orang-orang Munafiq yang mencela orang-orang Mu’min yang memberi shadaqah dengan sukarela, dan merekapunv menghina orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dishadaqahkan sekedar kesanggupannya “. (At -Taubah :79)


4. Istijobah Harakiyah (Menyambut dengan aktivitas)


Aktivis da’wah adalah yang orang aktif dalam kegiatan da’wah, selalu hadir dalam kegiatan da’wah dan berusaha untuk berada di barisan orang-orang mengutamakan kerja daripada berbicara. Bahkan berupaya untuk berada di garda terdepan dalam mempertahankan dan membela Islam.

Perlu diingat, tugas da’wah yang diemban aktivis sangat banyak., lebih banyak dari waktu yang tersedia. Tugas antara lain, pertama: Kewajiban dalam Tarbiyah, tujuannya, agar kualitas dan dan mutu kader semakin baik. Kedua: Kewajiban dalam Da’wah, tujuannya, agar penyebaran da’wah semakin luas. Ketiga: Kewajiban yang sifatnya tanzhimiyah, bertujuan, agar amal jama’i stuktural semakin kokoh

.
Bila kita pelajari siroh Nabawiyah dan siroh As-Salaf As-Shalih, kita bisa lihat, pola kehidupan mereka. Mereka lebih banyak bekerja untuk umat dibanding untuk diri dan keluarga mereka karena kesibukan yang begitu padat hampir tidak ada waktu untuk istirahat, bahkan tidak menyempatkan diri untu istir-ahat.

Para sahabat Rasul tidak pernah berhenti berjihad di jalan Allah, sebagian ahli sejarah mencatat sebanyak seratus kali peperangan selama sepuluh tahun Rasul di Madinah, baik yang dipimpin langsung oleh Rasul dan yang dipimpin oleh sahabatnya.

Baik itu pertempuran besar maupun yangkecil, baik yang jadi maupun tidak jadi perang. Sehingga jika diambil rata, peperangan terjadi sebulan sekali, artinya mobilitas jihad sangat tinggi. Begitu pula di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Peperangan dilakukan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari, belum lagi peperangan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang jumlahnya sebanyak dua puluh kali peperangan yang dilakukan terus menerus secara berkesinambungan.


Melihat kondisi saat ini, dimana tuntutan da’wah begitu besar, yang disertai ancaman global, tentu hal ini, menuntut kesungguhan, keseriusan serta mobilitas da’wah dan jihad yang tinggi, jika tidak maka kekuatan batil yang akan berkuasa di bumi ini. Dalam hal ini, Allah berfirman,

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar¬-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali¬-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan, ikutilah agama orang tua Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam al-Qur’an ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung”. (AI-Hajj :76 ).

Penutup


Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah pikiran kita terkonsentrasikan dan terfokuskan untuk memikirkan umat, memikirkan bagaimana cara yang efektif dalam melakukan da’wah untuk mereka. Sudahkah kita menyumbangkan pendapat, gagasan dan ide terbaik untuk kemajuan da’wah. Sudahkah kita mempersembahkan kreatifitas untuk pengembangan da’wah yang lahir dari hasil kajian, telaah, renungan dan evaluasi kerja da’wah saat ini?!.


Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah kita merasa gembira senang dan bahagia mana kala kita mendengar perintah, menerima tugas dan mendapatkan amanah da’wah.Apakah kita merasa bersedih, menangis dan merasa rugi jika kita tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, tidak dapat ikut dalam kegiatan da’wah di saat uzur. Menyesalkah kita jika tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik ?!


Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah kita mengeluarkan sebagian dari rizki yang kita dapatkan untuk kepentingan da’wah. Sudahkah kita berniat dan ber-Azam untuk menginfaqkan harta kita di jalan Allah? Sudahkah kita miliki tabungan da’wah?


Ikhwah dan Akhwat fillah, betulkah kita sebagai aktivis da’wah, apa buktinya? Apa kontribusi riil kita untuk da’wah? Apa prestasi da’wah kita selama ini?

Sudah berapa orang yang telah kita rekrut melaui da’wah fardiyah atau da’wah jamahiriyah? sudah berapa orang kader yang kita tarbiyah? Sudahkah kita menjadikan waktu, kerja, profesi dan seluruh aktivitas kita sebagai kegiatan da’wah ?!


Ikhwah dan Akhwat fillah, keimanan kita baru diakui oleh Allah apabila ada ruhul istijabah pada diri kita, dan baru akan sempurna iman kita jika aspek-aspek istijabah itu telah terpenuhi. Allah berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah, akan tetapi jika ¬mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan pembelaan agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (AI-Anfal : 72). ”

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta ¬berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi ¬pertolongan kepada orang-orang muhajirin, mereka itulah orang-orang yang bena-benar ¬beriman. Mereka memperoleh ampunan, rizki (ni’mat ) yang mulia “, (al-Anfal : 74)

Sumber: Majalah Tarbiyah Edisi 4 Th. I / Sya’ban-Ramadhan 1424 H/Oktober-November 2003 M


Rintangan Dakwah



Allah menjadikan manusia dari tanah, lalu meniupkan roh-Nya. Di dalam diri manusia ada daya tarik yang menariknya ke bumi supaya dia kekal di dalamnya, sedangkan dari pihak lain ada sifat rabbaniyah (ketuhanan) yang menarik dan mengangkatnya ke atas. Itulah dia medan jihad,lapangan perjuangan dan mujahadah (bersungguh-sungguh). Disitulah kita melatih diri,menerima ujian antara condong ke dunia dengan keakhirat dan mencapai rahmat Allah.

Allah berfirman:


Siapa saja yang menghendaki keuntungan akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya satu bagian pun di akhirat. (Q.S.As-Syuura:20)


Siapa yang berusaha mengurangi tekanan dan kecenderungan duniawi dan mengangkat dirinya naik keatas,berarti dia berjalan diatas jalan dakwah dan telah melintasi berbagai bukit rintangan dengan pertolonganAllah dan taufik-Nya.Siapayang memandang enteng godaan dan tarikan duniawi,tidak berjihad melawan nafsunya,lambat laun nafsunya akan mengalahkannya dan menguasainya, tertawan dan tergoda dengan dunia sehingga dia berhadapan dengan murka dan siksaan-Nya.


1. Jabatan dan Alat Mencari Rezeki

Seorang mahasiswa atau pelajar Islam yang berkecimpung di bidang dakwah sebenarnya masih ringan,karena belum dibabani tanggungan keluarga, belum diharuskan mencari rezek dan mudah melangkah di jalan dakwah tanpa ada ikatan dan tekanan/gangguan. Tetapi apanila ia telah lulus dari sekolah/PT dan terikat dengan pekerjaan atau menjaba t suatu jabatan, mulailah dia merasakan adanya ikatan dan kewajiban-kewajiban tertentu pada jabatannya yg harus dijaga. Kemungkinan perasaan seperti itu mendorong untuk membatasi kegiatan dakwahnya dan mengurangi jihadnya,memperlambat kegiatan dan langkahnya di jalan dakwah.


Dan adakalanya bahkan langsung berhenti ditengah jalan dan tidak mau meneruskan perjalanannya di bidang dakwah. Jika dia tidak mempunyai iman yag teguh,aqidah yang mantap dan tekad yang kokoh,pastilah dia tidak akan mampu melintasi rintangan danhalangan itu. Kekuatan imanlah yang akan menundukkan dia meneruskan perjalanan dakwah Islamnya dengan penuh keyakinanbahwa Allahyang menjamin rezeki dan menanggungnya.Pekerjaan dan jabatan hanyalah sebagai satu alat untuk dipergunakan dalam mencapai dan merealisasikan cita-cita di dunia ini untuk mencari keridhaan Allah. Oleh karena itu sebuah alat(wasilah) tidak boleh diubah menjadi rintangan yang menghalangi untuk mencapai tujuan.


Sumber: Fiqh Dakwah Jilid 1, Syaikh Mushthafa Masyur

Jalinan Ukhuwah

Nada Keinsyafan

Template by:
Free Blog Templates